Kamu adalah kata yang menari nari setiap mata
tertutup dan berubah menjadi bayang bayang hitam disudut ruang hati ketika mata
ini terbuka. Kamu adalah apa yang tak mungkin bisa kusentuh, namun layaknya
bayangan, mengikuti kemana pun sang tuan berjalan. Aku pernah mencari. Kemana hendak
kutemui jika tiba tiba rindu itu kembali. Menjerit meminta sebuah pelukkan. Satu
pelukkan saja. Menjadikan nyata dari bayang-bayang hitam yang bersembunyi
disudut ruang.
Kamu adalah sebab lain dari lahirnya sajak
sajak ku. Mengukir pilar pilar waktu menceritakan tentang hujan yang jatuhi
dadaku. Mengalir lalu hilang diujung-ujung penantian yang tak menemui muara. Menguap
tak bersisa. Namun hujan yang jatuh, tak turut mereda. Terus bergemuruh, tak
peduli jika dada ini tak lagi sanggup
menahannya.
Kamu adalah apa yang selama ini disimpan waktu.
Menyebabkan lebam biru ditempat yang seharusnya masih utuh. Melukis dengan pena
seolah menceritakan tentang tangis haru. Namun kamu, penipu. Aku pernah
bertanya, pada bayang yg tak tersentuh itu, bisakah luka itu sembuh? Tak lagi menyisakan perih yang
menjalari tubuh saat hujan turun dengan bergemuruh.
Dan kini, kamu adalah apa yang kita sebut
sebagai kenangan. Yang selalu diantarkan oleh senja pada sebuah kepulangan. Mengeja
namamu serupa meraba ukiran dibatang batang pohon kenangan. Hitam. Legam. Kasar
tak terhapuskan. Tak lagi basah disebabkan darah. Tak lagi lebam dan membiru. Tidak
lagi. Luka itu sembuh meski bagiannya tak lagi utuh.
Kini juga kamu adalah apa yang kulipat rapi
sebagai sebuah perjalanan. Menyusunmu dalam sebuah memoar kehidupan yang sempat
berserakan. Menyisipkannya dilipatan lipatan hati yang terdalam. Yang tak lagi
kusentuh kecuali jika Tuhan yang menuntunkan.