Kamu
pertama kali melihatnya sedang tersedu dengan air mata yang menganak sungai di
pipinya. Terisak di sebuah bangku taman
tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Tidak peduli dengan gerimis yang mulai
deras. Ia hanya menangis. Menangis menatap nanar bunga yang sedang bermekar
indah dihadapannya.
Tapi
entah mengapa, walaupun terbesit rasa iba yang mengguyur hatimu saat itu, tidak
mampu menggerakkanmu untuk menghampirinya. Dirimu hanya terdiam memerhatikannya
dari jauh. Sibuk dalam pikiranmu sendiri. ‘Apa
yang menyebabkan Gadis semanis ini menangis?’ atau, ‘Siapa yang dengan tega membuat gadis sepertimu menangis hingga tersedu
seperti itu?’
Gadis
itu beranjak berdiri dari tempatnya. Menghapus sisa air mata yang masih
membasahi pipinya kemudian berjalan perlahan meninggalkan taman.
Kamu
melihat ditengah jalan ia disapa dan berbincang sebentar dengan seseorang. Tidak. Kamu tidak bisa mendengar
apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuhnya kamu tau, seseorang itu,
dengan sikap keibuannya, seperti memberikan kekuatan kepada seorang anak yang
disayanginya. Gadis itu hanya tersenyum setengah hati dengan mata yang masih
berkaca kaca, lalu mengangguk lemah.
Kamu
segera menghampiri seseorang yang tadi menyapanya setelah ia menghilang dibalik
keramaian. Gadis itu, sungguh menarik. Kamu tidak pernah tau apa yang ada pada
dirinya yang membuatmu begitu penasaran.
“ Permisi Bu..” sapa mu dengan
sopan. “maaf. Kalau boleh tau, siapa gadis yang tadi ibu sapa? Sepertinya ia
sedang berduka..”
Ibu
itu menatapmu sesaat sebelum menyebutkan nama gadis itu. “ namanya Rora. Aurora.
kekasihnya meninggal dalam tugas setelah ia berjanji akan melangsungkan
pernikahan di taman bunga ini. Kasihan dia. Gadis itu begitu terpukul. Dia
selalu datang ke taman ini dengan harapan kekasihnya akan datang.”
Aurora.
Gadis itu bernama Aurora. Nama yang indah. Seindah langit malam dikutup yang
berpendar dengan warna warni yang dilukis Tuhan di kanvas ciptaannya. Namun
sayang, keindahan itu sedang redup ditutupi awan duka yang berkepanjangan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kamu
mengenalnya tepat saat bunga bunga ditaman itu sedang bermekaran dengan
indahnya.
Harapanmu
terkabul. Takdir memang mempertemukanmu dengannya lagi di taman itu. Saat itu
gerimis belum turun seperti awal kamu melihatnya.
kamu sedang mengambil beberapa objek foto
ditaman seribu bunga itu. Memotret segala sisi keindahan taman saat bunga
sedang merekah indah. Di saat itulah, kameramu menangkap sosok dirinya duduk
termangu dengan tatapan nanar yang begitu menyakitkan. Namun kini, ia tidak
menangis. Atau lebih tepatnya belum menangis.
Hasrat
yang begitu kuat muncul entah dari mana, memaksamu untuk mendekat dan
menyapanya. Langkah kakimu terhenti, saat hembusan angin dingin menerpa.
Membuat tubuhnya bergetar saat dirimu memandangnya dari balik punggung. Hanya
berkisar 3 langkah lagi kamu akan duduk di bangku yang di duduki gadis itu.
Kamu mulai melangkahkan kakimu seraya membuka jaket yang kamu kenakan untuk
melindungi gadis itu dari hawa dingin dan tetasan hujan yang mulai turun.
Lagi.
Gerakanmu kembali terhenti. Saat dirimu tepat berada disampingnya dan melihat
setetes air jatuh ke kepalan tangan di atas pangkuannya. Tetesan air itu kamu
sadari bukan berasal dari gerimis langit kelabu. Tapi berasal dari matanya yang
terlihat sendu. Tubuhnya semakin terguncang hebat dan isak tangisnya keluar
setelah kepalanya jatuh tertunduk. Akhirnya, kamu mengetahui bahwa bukan hawa
dingin yang mengakibatkan tubuhnya bergetar hebat. Melainkan sebuah isak tangis
yang sedari tadi sudah ditahannya.
Kehadiranmu
di sadari olehnya. Gadis itu menoleh menatapmu dengan airmata yang terjun bebas
dipipi mulusnya. Meskipun matanya tertutupi kabut bening, namun sorot terkejut
tak menghalanginya. Ia terkesiap memandangmu dengan tatapan terkejut dan
bertanya. Namun kamu tidak mempedulikannya, justru malah melanjutkan gerakan
tanganmu menyampirkan jeket ke bahunya yang sempat tertunda.
Gadis
itu enggan bergerak. Ia memandang jaket yang kamu sampirkan ke tubuhnya lalu
menatap kedepan. Ia tidak beranjak dari tempatnya duduk. Dan kamu. Kamu hanya
diam duduk disisinya tanpa sepatah kata.
Entah
mengapa, suasana hening diantara kalian sungguh menyenangkan bagimu. Semilir
angin membawa kebekuan. Rintik rintik hujan yang membasahi taman menjadikan
suasana semakin damai. Kehangatan mulai merayap perlahan menyentuh sudut sudut
hati yang beku diantara kalian.
Gerimis senja ditengah tengah bunga yang bermekaran.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kamu
semakin sering bertemu dengannya ditaman ini. Setelah gerimis senja itu
memperkenalkan kalian.
Kamu
mulai mengenal sosoknya. Mulai mengenal siapa gadis manis yang selama ini
membuatmu begitu penasaran.
Perlahan
membuka sebuah peluang pertemanan diantara kalian. Perlahan mulai saling
memperkenalkan siapa diri masing masing.
Kamu
mengenalnya saat gerimis di senja kala itu. Mengenalnya melalui awan kelabu
tengah menutupi mentari di hari itu. Mendapatinya dengan tetesan airmata yang
tidak pernah terhapuskan selama beberapa bulan dalam hidupnya. Kamu mengenalnya
ditengah kepedihan cinta, ditengah keindahan bunga yang merekah indah.
Dalam
sebuah pertemuan
yang tidak pernah kamu duga kamu mengenalnya. Melihat tatapan sendu dalam
setiap cerita yang keluar dari mulut mungilnya. Mendengar kegugupan dalam
setiap nada suaranya yang sarat kepedihan.
Lalu
kamu tersadar. Ketika tidak ada yang dapat kamu lakukan untuk merubah masa
lalunya yang begitu menyakitkan, kamu memutuskan untuk memulai semuanya dari
awal.
Kamu
dengan bermodalkan sebuah ketulusan, mulai menyeka awan kelabu itu dari
pandangan matanya yang indah. Kembali memperkenalkan dunia yang telah tercipta
indah sedari kamu menghirup nafas pertama di dunia. Kembali memperkenalkan
senyum padanya. Kembali memperkenalkan makna dari kelima huruf yang sempat
terabaikan olehnya.
‘Ya.. tersenyumlah Aurora. Aku akan membuatmu
kembali bersinar indah seperti dulu.’
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kamu
selalu menemuinya mulai
saat itu
Walau
hatimu tidak pernah mengerti, namun hasrat yang ada di dalam dirimu menuntut
untuk terus bisa melihat wajahnya. Menarik dirinya dari keterpurukan yang
dalam.
Yang
kamu lakukan hanyalah mendengarkan semua cerita pahitnya. Memberikan masukan
masukan disaat yang tepat. Membumbuinya
dengan sedikit candamu untuk memancing tawanya, atau hanya sekedar senyumnya
yang lama tak terlihat.
Kamu
mengerti betul besarnya cinta yang ia simpan untuk kekasihnya. Dan terkadang,
disaat saat tertentu, ditengah tengah cerita indah gadis itu bersama
kekasihnya, terselip rasa iri di hatimu. Rasa iri terhadap sosok laki laki yang
dengan segenap hati ia cintai. Dan di saat itu kamu sadar, dirimu hanyalah
seorang pengagum yang ditakdirkan Tuhan untuk mengenal dirinya di suatu senja
yang kelabu.
Kamu
membenci gagasan itu. Kamu membenci kenyataan itu. Kenyataan bahwa suatu saat
nanti kamu juga akan merasakan sakitnya cinta. Namun entah mengapa, hal ini
tidak membuat tekatmu goyah. Kamu tidak pernah beranjak dari tempatmu berdiri
sekarang. Kamu tidak pernah ingin berhenti melakukan apa yang sedang kamu
lakukan sekarang. Dan disaat untuk pertama kalinya kamu melihat senyum gadis
itu merekah tanpa ada selaput sendu di matanya, hatimu berkata, ‘ Apapun itu, bahkan kebahagiaanku
sendiripun akan ku gadaikan asal kamu tetap tersenyum seperti ini.. kamu hanya
perlu mengatakan apa yang harus ku lakukan untuk tetap membuatmu tersenyum
seperti ini’.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kamu,
dalam diam menyadari rasa penasaran
dihatimu mengantarkanmu pada rasa sayang yang kamu yakini tidak akan terbayar.
Selama
berbulan bulan kamu menemaninya ditaman itu, menghabiskan setiap senja untuk
kembali mengajarkannya bagaimana rasanya menikmati keindahan yang telah
tercipta meski dibalik perih luka cinta, selama itu pula kamu berusaha menutupi
kenyataan yang terjadi didalam dirimu sendiri. Kamu membohongi perasaanmu
sendiri bahwa kamu tidak pernah jatuh cinta padanya.
Padahal
kenyataannya kamu mulai menyayanginya melebihi seorang teman.
Padahal
kenyataannya kamu mulai merindukannya dan melewati hari yang begitu menyiksa
tanpa melihat wajahnya.
Kamu
membohongi dirimu sendiri. Membakar hidup hidup perasaan itu. Mengenyahkan
secara paksa sebuah harapan yang mulai tumbuh dan berkembang subur jauh di
dalam hatimu.
Kamu
tidak pernah mau mengakuinya. Bahkan saat kamu ingin mempercayai perasaan itu,
justru semakin gencar kamu melupakannya.
Namun
apa yang telah kamu lakukan padanya selama berbulan bulan ini, telah mewujudkan
harapan yang pertama kali kamu inginkan saat mengenalnya. Ia kembali tersenyum.
Ia kembali tertawa. Ia kembali mekar indah walaupun bunga bunga di taman itu
masih dalam kelopaknya. Kuncup bunga. Namun bunga yang satu ini justru mekar
lebih dulu dan lebih indah di sisimu. Dan disaat itu, ia mulai menyadari dan menerima takdirnya
sebagai manusia yang masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara
kehidupan, ia berkata padamu, “ terima kasih, Evan”
Kata
kata itu, ucapan terima kasih itu, meluruhkan seluruh pertahanan dirimu.
Menyadarkan dirimu akan hadirnya perasaan yang selama ini kamu acuhkan.
Menghancurkan hatimu hingga berkeping keping tanpa bisa utuh lagi. Usai sudah.
Segalanya. Perkenalan ini, pertemuan ini, pertemanan ini, hanyalah sebagai
perantara Tuhan untuk membawanya dari jurang kesedihan. Dan tugasmu hanyalah
sampai sini. Tanpa mengharapkan imbalan apapun.
“ya.. aku senang kamu tidak sedih
lagi. Bukankah itu gunanya teman?” ucapmu lirih.
Dan
kata terakhirmu itu menjadikan tamparan keras untuk menyadarkan posisimu selama
ini di sisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar