2/13/2013

Cerpen : Aurora_Part 1


Kamu pertama kali melihatnya sedang tersedu dengan air mata yang menganak sungai di pipinya.  Terisak di sebuah bangku taman tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Tidak peduli dengan gerimis yang mulai deras. Ia hanya menangis. Menangis menatap nanar bunga yang sedang bermekar indah dihadapannya.

Tapi entah mengapa, walaupun terbesit rasa iba yang mengguyur hatimu saat itu, tidak mampu menggerakkanmu untuk menghampirinya. Dirimu hanya terdiam memerhatikannya dari jauh. Sibuk dalam pikiranmu sendiri. ‘Apa yang menyebabkan Gadis semanis ini menangis?’ atau, ‘Siapa yang dengan tega membuat gadis sepertimu menangis hingga tersedu seperti itu?’

Gadis itu beranjak berdiri dari tempatnya. Menghapus sisa air mata yang masih membasahi pipinya kemudian berjalan perlahan meninggalkan taman.

Kamu melihat ditengah jalan ia disapa dan berbincang sebentar dengan  seseorang. Tidak. Kamu tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuhnya kamu tau, seseorang itu, dengan sikap keibuannya, seperti memberikan kekuatan kepada seorang anak yang disayanginya. Gadis itu hanya tersenyum setengah hati dengan mata yang masih berkaca kaca, lalu mengangguk lemah.

Kamu segera menghampiri seseorang yang tadi menyapanya setelah ia menghilang dibalik keramaian. Gadis itu, sungguh menarik. Kamu tidak pernah tau apa yang ada pada dirinya yang membuatmu begitu penasaran.

            “ Permisi Bu..” sapa mu dengan sopan. “maaf. Kalau boleh tau, siapa gadis yang tadi ibu sapa? Sepertinya ia sedang berduka..”

Ibu itu menatapmu sesaat sebelum menyebutkan nama gadis itu. “ namanya Rora. Aurora. kekasihnya meninggal dalam tugas setelah ia berjanji akan melangsungkan pernikahan di taman bunga ini. Kasihan dia. Gadis itu begitu terpukul. Dia selalu datang ke taman ini dengan harapan kekasihnya akan datang.”

Aurora. Gadis itu bernama Aurora. Nama yang indah. Seindah langit malam dikutup yang berpendar dengan warna warni yang dilukis Tuhan di kanvas ciptaannya. Namun sayang, keindahan itu sedang redup ditutupi awan duka yang berkepanjangan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kamu mengenalnya tepat saat bunga bunga ditaman itu sedang bermekaran dengan indahnya.

Harapanmu terkabul. Takdir memang mempertemukanmu dengannya lagi di taman itu. Saat itu gerimis belum turun seperti awal kamu melihatnya.

 kamu sedang mengambil beberapa objek foto ditaman seribu bunga itu. Memotret segala sisi keindahan taman saat bunga sedang merekah indah. Di saat itulah, kameramu menangkap sosok dirinya duduk termangu dengan tatapan nanar yang begitu menyakitkan. Namun kini, ia tidak menangis. Atau lebih tepatnya belum menangis.

Hasrat yang begitu kuat muncul entah dari mana, memaksamu untuk mendekat dan menyapanya. Langkah kakimu terhenti, saat hembusan angin dingin menerpa. Membuat tubuhnya bergetar saat dirimu memandangnya dari balik punggung. Hanya berkisar 3 langkah lagi kamu akan duduk di bangku yang di duduki gadis itu. Kamu mulai melangkahkan kakimu seraya membuka jaket yang kamu kenakan untuk melindungi gadis itu dari hawa dingin dan tetasan hujan yang mulai turun.

Lagi. Gerakanmu kembali terhenti. Saat dirimu tepat berada disampingnya dan melihat setetes air jatuh ke kepalan tangan di atas pangkuannya. Tetesan air itu kamu sadari bukan berasal dari gerimis langit kelabu. Tapi berasal dari matanya yang terlihat sendu. Tubuhnya semakin terguncang hebat dan isak tangisnya keluar setelah kepalanya jatuh tertunduk. Akhirnya, kamu mengetahui bahwa bukan hawa dingin yang mengakibatkan tubuhnya bergetar hebat. Melainkan sebuah isak tangis yang sedari tadi sudah ditahannya.

Kehadiranmu di sadari olehnya. Gadis itu menoleh menatapmu dengan airmata yang terjun bebas dipipi mulusnya. Meskipun matanya tertutupi kabut bening, namun sorot terkejut tak menghalanginya. Ia terkesiap memandangmu dengan tatapan terkejut dan bertanya. Namun kamu tidak mempedulikannya, justru malah melanjutkan gerakan tanganmu menyampirkan jeket ke bahunya yang sempat tertunda.

Gadis itu enggan bergerak. Ia memandang jaket yang kamu sampirkan ke tubuhnya lalu menatap kedepan. Ia tidak beranjak dari tempatnya duduk. Dan kamu. Kamu hanya diam duduk disisinya tanpa sepatah kata.

Entah mengapa, suasana hening diantara kalian sungguh menyenangkan bagimu. Semilir angin membawa kebekuan. Rintik rintik hujan yang membasahi taman menjadikan suasana semakin damai. Kehangatan mulai merayap perlahan menyentuh sudut sudut hati yang beku diantara kalian.

Gerimis senja ditengah tengah bunga yang bermekaran.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kamu semakin sering bertemu dengannya ditaman ini. Setelah gerimis senja itu memperkenalkan  kalian.

Kamu mulai mengenal sosoknya. Mulai mengenal siapa gadis manis yang selama ini membuatmu begitu penasaran.

Perlahan membuka sebuah peluang pertemanan diantara kalian. Perlahan mulai saling memperkenalkan siapa diri masing masing.

Kamu mengenalnya saat gerimis di senja kala itu. Mengenalnya melalui awan kelabu tengah menutupi mentari di hari itu. Mendapatinya dengan tetesan airmata yang tidak pernah terhapuskan selama beberapa bulan dalam hidupnya. Kamu mengenalnya ditengah kepedihan cinta, ditengah keindahan bunga yang merekah indah.

Dalam sebuah pertemuan yang tidak pernah kamu duga kamu mengenalnya. Melihat tatapan sendu dalam setiap cerita yang keluar dari mulut mungilnya. Mendengar kegugupan dalam setiap nada suaranya yang sarat kepedihan.

Lalu kamu tersadar. Ketika tidak ada yang dapat kamu lakukan untuk merubah masa lalunya yang begitu menyakitkan, kamu memutuskan untuk memulai semuanya dari awal.

Kamu dengan bermodalkan sebuah ketulusan, mulai menyeka awan kelabu itu dari pandangan matanya yang indah. Kembali memperkenalkan dunia yang telah tercipta indah sedari kamu menghirup nafas pertama di dunia. Kembali memperkenalkan senyum padanya. Kembali memperkenalkan makna dari kelima huruf yang sempat terabaikan olehnya.

‘Ya.. tersenyumlah Aurora. Aku akan membuatmu kembali bersinar indah seperti dulu.’

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kamu selalu  menemuinya  mulai  saat itu

Walau hatimu tidak pernah mengerti, namun hasrat yang ada di dalam dirimu menuntut untuk terus bisa melihat wajahnya. Menarik dirinya dari keterpurukan yang dalam.

Yang kamu lakukan hanyalah mendengarkan semua cerita pahitnya. Memberikan masukan masukan disaat  yang tepat. Membumbuinya dengan sedikit candamu untuk memancing tawanya, atau hanya sekedar senyumnya yang lama tak terlihat.

Kamu mengerti betul besarnya cinta yang ia simpan untuk kekasihnya. Dan terkadang, disaat saat tertentu, ditengah tengah cerita indah gadis itu bersama kekasihnya, terselip rasa iri di hatimu. Rasa iri terhadap sosok laki laki yang dengan segenap hati ia cintai. Dan di saat itu kamu sadar, dirimu hanyalah seorang pengagum yang ditakdirkan Tuhan untuk mengenal dirinya di suatu senja yang kelabu.

Kamu membenci gagasan itu. Kamu membenci kenyataan itu. Kenyataan bahwa suatu saat nanti kamu juga akan merasakan sakitnya cinta. Namun entah mengapa, hal ini tidak membuat tekatmu goyah. Kamu tidak pernah beranjak dari tempatmu berdiri sekarang. Kamu tidak pernah ingin berhenti melakukan apa yang sedang kamu lakukan sekarang. Dan disaat untuk pertama kalinya kamu melihat senyum gadis itu merekah tanpa ada selaput sendu di matanya, hatimu berkata, ‘ Apapun itu, bahkan kebahagiaanku sendiripun akan ku gadaikan asal kamu tetap tersenyum seperti ini.. kamu hanya perlu mengatakan apa yang harus ku lakukan untuk tetap membuatmu tersenyum seperti ini’.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kamu, dalam diam menyadari rasa  penasaran dihatimu mengantarkanmu pada rasa sayang yang kamu yakini tidak akan terbayar.

Selama berbulan bulan kamu menemaninya ditaman itu, menghabiskan setiap senja untuk kembali mengajarkannya bagaimana rasanya menikmati keindahan yang telah tercipta meski dibalik perih luka cinta, selama itu pula kamu berusaha menutupi kenyataan yang terjadi didalam dirimu sendiri. Kamu membohongi perasaanmu sendiri bahwa kamu tidak pernah jatuh cinta padanya.

Padahal kenyataannya kamu mulai menyayanginya melebihi seorang teman.

Padahal kenyataannya kamu mulai merindukannya dan melewati hari yang begitu menyiksa tanpa melihat wajahnya.

Kamu membohongi dirimu sendiri. Membakar hidup hidup perasaan itu. Mengenyahkan secara paksa sebuah harapan yang mulai tumbuh dan berkembang subur jauh di dalam hatimu.

Kamu tidak pernah mau mengakuinya. Bahkan saat kamu ingin mempercayai perasaan itu, justru semakin gencar kamu melupakannya.

Namun apa yang telah kamu lakukan padanya selama berbulan bulan ini, telah mewujudkan harapan yang pertama kali kamu inginkan saat mengenalnya. Ia kembali tersenyum. Ia kembali tertawa. Ia kembali mekar indah walaupun bunga bunga di taman itu masih dalam kelopaknya. Kuncup bunga. Namun bunga yang satu ini justru mekar lebih dulu dan lebih indah di sisimu. Dan disaat itu,  ia mulai menyadari dan menerima takdirnya sebagai manusia yang masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara kehidupan, ia berkata padamu, “ terima kasih, Evan”

Kata kata itu, ucapan terima kasih itu, meluruhkan seluruh pertahanan dirimu. Menyadarkan dirimu akan hadirnya perasaan yang selama ini kamu acuhkan. Menghancurkan hatimu hingga berkeping keping tanpa bisa utuh lagi. Usai sudah. Segalanya. Perkenalan ini, pertemuan ini, pertemanan ini, hanyalah sebagai perantara Tuhan untuk membawanya dari jurang kesedihan. Dan tugasmu hanyalah sampai sini. Tanpa mengharapkan imbalan apapun.

            “ya.. aku senang kamu tidak sedih lagi. Bukankah itu gunanya teman?” ucapmu lirih.

Dan kata terakhirmu itu menjadikan tamparan keras untuk menyadarkan posisimu selama ini di sisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar