4/14/2013

Cerpen_Aurora Part II



Rasa itu benar benar terlanjur tumbuh subur ditaman hatimu.. ohh yaa Tuhan..

Sudah sebulan kamu tidak menemuinya sejak untuk pertama kalinya ia kembali tersenyum tanpa ada kesedihan di matanya.

Dan rasa rindu itu tidak lagi bisa kamu tutupi keberadaannya. Bahkan semakin ingin kamu mengenyahkan perasaan itu, semakin besar pula ia menggerogoti hatimu. Begitu menyiksa. Begitu menyakitkan. Hingga senja ini, ketika kamu tidak tahan lagi dengan apa yang kamu rasakan, kamu memutuskan untuk datang ketaman itu. Taman yang menjadikan sarana tempat awal kalian bertemu dan berkenalan.

Kamu tidak menemukannya. Ia tidak disini seperti biasanya. Jadi disinilah kamu sendiri. Disaat senja kembali kelabu dan rintik hujan mulai turun. Dingin. Angin dingin itu pun tidak lagi sama rasanya dengan angin dingin di awal perkenalan kalian yang terasa sejuk. Angin dingin ini justru membawa rasa kebekuan yang mencekam bagi dirimu.

Kamu masih diam di bangku taman ini. Tenggelam dalam fikirmu tentang dirinya ditengah gerimis yang mulai merapat. ‘ apakah ia telah melupakanku? Atau apakah ia telah menemukan kebahagiaannya yang lain diluar sana?’

Ditengah kesibukanmu dengan sejuta Tanya dalam jiwamu,tanpa sadar gerimis yang mulai membasahi seluruh tubuhmu berhenti menyentuh. Padahal kamu tau gerimis tidak  reda saat itu. Pikiranmu terlalu beku untuk menyadari seseorang yang dalam diam menghampiri dan duduk tepat disisimu. Hingga ia menyapamu terlebih dulu, “ Evan, sedang apa kamu ditengah gerimis ini?”

Kamu tersadar. Menoleh kearah sumber suara yang begitu lembut dan sangat familiar di telingamu. Matamu dan mata gadis itu beradu.  Aurora. Yaa.. gadis itu Aurora. Gadis yang selama ini selalu menangis dipundakmu. Gadis yang selama ini dengan usaha dan ketulusanmu kembali tersenyum meninggalkan pedih luka yang membelenggunya. Dan kini, gadis itu ada disisimu, memegang sebuah payung untuk melindungi kalian dari gerimis senja itu.

Kamu hanya diam menatap matanya. Matanya yang kembali tersiratkan kesedihan seperti awal kalian bertemu. Mata itu sendu. Kenyataan itu menyadarkanmu dan memaksakan lidahmu untuk mengucapkan sesuatu. Namun yang kamu ucapkan hanyalah namanya. Begitu lirih seakan tenagamu telah membeku karena dinginnya cuaca.

“ Aurora..”

            “ kemana saja kamu selama ini? Kenapa kamu menghilang..? Evan.. tolong jelaskan apa yang sedang terjadi padamu selama ini..”

Ucapannya begitu menggebu. Namun dibalik itu semua, di matanya yang indah, kini kamu temukan kembali selaput bening kepedihan itu lagi. Kamu terkejut. Berusaha menerka apa yang sedang terjadi dengan gadis yang kamu sayangi.
           
            “ Aurora, ada apa?” tanyamu sambil menyeka tetesan pertama yang keluar dari mata indahnya.

            “ kamu masih bertanya da apa, Van?! Setelah semua yang telah kamu lakukan padaku.” Ucapan gadis itu tercekak dengan tangisnya yang tidak sanggup ditahannya lagi.

Langit belum memberikan tanda tanda gerimis akan berhenti. Dan kamu berusaha dengan keras meresapi dan memahami apa yang baru saja dikatakan gadismu. Disaat kamu mulai melihat dan mengerti maksud yang tersembunyi itu, gadis itu melanjutkan ucapannya.

            “kamu menghilang Van..!! kamu menghilang dari hadapanku selama ini..!! kamu datang secara tiba tiba ditengah kesedihanku. Dan kini setelah kamu berhasil mengeluarkanku dari keterpurukkan, kamu menghilang tanpa sebab. Tolong katakana Van, apa yang telah aku perbuat hingga kamu meninggalkanku sendiri selama ini..”
Emosinya semakin keluar ditengah tengah gerimis yang kini semakin deras. Kamu tersadar, apa yang selama ini kamu yakini untuk membakar hidup hidup perasaanmu terhadap gadis itu, justru telah kembali melukai hatinya.

            “ Aurora, aku…” kata katamu dipotong olehnya.
           
“ seharusnya kamu tidak perlu membantuku untuk keluar dari masalahku jika pada akhirnya kamu juga akan meninggalkanku, Van. Sungguh kamu tidak perlu melakukannya. Membuatku kembali tersenyum atau tertawa jika pada akhirnya kamu kembali membuatku seperti ini..” akhirnya tangisnya pecah.

Gadis yang selama ini dengan usahamu membuatnya kembali tersenyum, gadis yang dulu pertama kali kamu mengenalnya dan berjanji pada dirimu sendiri untuk menjaga agar tidak lagi merasakan kesedihan, kini justru kamu sendiri yang membuatnya kembali menangis. ‘ Ya Tuhan, apa yang telah ku perbuat..’      

Ditengah gerimis senja itu, kamu menyadari kesalahan dan hal bodoh yang telah kamu perbuat. Tindakanmu yang gegabah telah membuat gadis yang kamu sayangi menangis seperti ini.

Perlahan, kamu mendekap tubunya dan membiarkan tangisnya tumpah dalam pelukanmu. Ya.. kamu menyesal. Dan kini kamu kembali berjanji untuk tidak pernah meninggalkan dirinya lagi.

            “maafkan aku. Mulai sekarang, aku tidak akan meninggalkanmu lagi..” ujarmu lirih ditelinganya seraya membelai lembut rambutnya yang terurai.

            “ berjanjilah padaku, Van..” pintanya

            “ aku berjanji..” ucapmu pelan namun tegas dan menariknya lebih erat dalam pelukanmu.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dan disini, saat ini. Ketika bunga bunga ditaman ini kembali bermekaran indah di tahun keduan kamu mengenalnya.

Dibangku taman ini yang dulu pertama kalinya kamu mengenal gadis manis ini. Kini ia tidak lagi sedang menangis. Justru ia sedang tersenyum manis padamu. Kamu mengatakan sesuatu yang membuatnya tertawa.

Indah. Begitu indah. Ditengah keindahan bunga yang merekah dan menebarkan bau harum, namun tepat disisimu sekarang, sekuntum bunga kembali mekar jauh lebih indah. Jauh lebih harum. Dan bunga itu bernama Aurora.

            “ kamu suka taman ini?” tanyamu padanya

            “ ya.. aku sangat menyukainya..” jawabnya tanpa menghapus senyum dibibirnya.

            “ehmm.. kalau kamu menikah dengan ku di taman ini, kamu bersedia??”

Ia terdiam. Lalu tawanya pecah. “ apa kamu sedang bercanda lagi Van?”

            “Tidak. Apakah wajahku terlihat seperti bercanda?” tanyamu dengan menatap kedalam matanya dan menenggelamkan tangannya dalam genggamanmu.

Ia menyadari nada serius dari bicaramu. Ia pun tertunduk menatap tangannya yang hilang di dalam genggaman tanganmu.
            “ a.. a..aku..” ucapnya tergagap. Ada semburat merah dipipinya yang mulus. “ apakah ini tidak terlalu terburu buru?”

            “ tidak. Aku cukup mengenalmu. Begitu pun kamu. Aku rasa aku tidak terburu buru…”

            “ehh.. ta.. tapi..” ucapnya masih tergagap karena gugup.

            “ oh Astaga Aurora.. jangan katakan kalau aku terlalu tampan untukmu...” katamu dengan senyum yang merekah berusaha menggodanya.

           
Ia mengangkat kepalanyanya dan tertawa karena ucapanmu.

“hahaha.. yang benar saja. Apakah aku tidak cukup cantik untuk mu?? “Tantangnya padamu lalu kalian tertawa bersama
 Hanya saja, Apakah kamu tidak akan menyesal menikahiku?” Tanya gadismu setelah tawa kalian reda.

Kamu terdiam. Mata topasmu menatap lekat lekat kedalam matanya yang indah. Tatapan itu membuatnya menunduk karena malu. Dengan perlahan kamu menyentuh dagunya dan mengangkatnya hingga kamu bisa melihat mata indah itu, lalu bertanya
“ Apakah aku punya alasan untuk menyesalinya??”

Ia terdiam membalas tatapanmu dan dengan tegas menggelengkan kepala seraya berkata,
“ Tidak.”

“ lalu, maukah kamu menikah dengan ku?” pintamu sekali lagi padanya.

Disaat itu semburat merah diwajahnya kembali lagi. Namun kali ini ia tidak menghindar dari permintaanmu. Justru ia mengangguk dan berkata, “ Ya.. Aku mau..”

Dan kamu langsung memeluknya erat.
“ Terima kasih karena telah bersedia menikah dengan ku. Aku sangat bahagia “

            “ begitu pula denganku..”

Sekuntum bunga lagi telah mekar ditaman senja itu. Mekar dengan menebarkan aroma kebahagiaan dari sebuah rasa yang begitu tulus. Sebuah hasrat yang dulu kamu yakini tidak pernah terbalas, sebuah hasrat yang dulu selalu kau hancur setiap ia mulai mekar ditaman hatimu.

Namun tidak seperti pertemuan pertama kalian yang diiringi dengan gerimis dan awan kelabu. Kini justru langit begitu cerah walaupun gerimis baru saja beranjak pergi. Tetesan gerimis masih meninggalkan bekas di rerumputan. Bergentung ditepi tepi daun yang masih basah. Tetesan sisa gerimis itu berpendar diterpa sinar jingga di senja itu. Dan disudut langit sana, pelangi terlukis begitu indah di kanvas Sang kuasa. Dan Aurora pun kembali bersinar menemani langit kutup bersama salju.

            “Pelangi itu indah ya..” ujarnya sambil melepas pelukannya.

            “ya.. indah. Tapi, taukah kamu apa yang lebih indah saat ini??” tanyamu

            “ehmm.. apa itu?”

            “ melihat indahnya Aurora dihadapanku yang orang lain hanya bisa melihatnya di kutup yang tertutupi salju abadi..” ujarmu sambil menatap kedalam matanya yang bening.

Ia hanya tersenyum menatapmu dalam diam. Lalu dengan perlahan wajahmu mendekat kewajahnya. Begitu perlahan. Menanti raeksinya terhadap apa yang kamu lakukan. Namun ketika jarak wajah mu semakin mendekat, ia menutup matanya. Disaat itulah kamu melihat keindahan dan kecantikan wajah gadismu dari dekat. Dan dengan hati berdesir, kamu pun menutup matamu. Merasakan setiap hela nafasnya.
Ciuman pertama itu pun terjadi. Begitu indah, begitu lembut, begitu manis. Semanis aroma bunga yang sedang bermekaran di sekitar kalian. Seindah warna warni kelopak bunga yang merayu kumbang. Selembut tetesan gerimis yang membasahi bunga bunga di taman ini. Taman Seribu Bunga.

‘Kamu lihat, bukan?? Aurora tidak hanya ada di langit kutup yang tertutupi salju. Tapi disini, ditempatku sekarang, Aurora itu lebih indah dan bersinar dibawah sinar jingga senja yang menawan. Tanpa salju, tanpa rasa dingin, tanpa kebekuan. Keindahannya berpendar dibawah sinar matahari yang memberikan kehangatan..’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar